Liputan Media:
KBRN, BOGOR - Kebijakan Pemerintah Pusat yang kaku berpotensi menjadi bibit radikalisme negatif dalam berbagai bidang tidak hanya persoalan agama dan keyakinan dari pemeluknya.
Faktor lain penyebab terjadinya radikalisme negatif adalah ketimpangan ekonomi dan pendidikan di tengah masyarakat di sampin dendam terhadap produk dari kebijakan yang di buat pemerintah pusat yang tidak sejalan dengan kondisi di daerah.
Seperti disampaikan Anggota DPR RI TB Soemanjaya dalam seminar nasional dengan tema “Upaya Penanggulangan Radikalisme melalui Imunisasi Ideologi”.
Soemanjaya menjelaskan pengertian radikal memiliki nilai positif yang artinya mengakar atau mendasar. Namun seiring perjalanan waktu radikal yang disusupi paham kebencian menjadi gerakan radikalisme yang mengarah pada pola pemikiran destruktif bahkan sesat.
Hal paling kecil dicontohkan Soemanjaya dalam bidang pendidikan adalah tidak adanya lagi wawasan kebangsaan dimasukkan di dalam kurikulum baik pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Bahkan pelaksanaan ujian nasional yang baru saja di selenggarakan di tingkat SMP dan SMA sederajat juga berpotensi munculnya bibit radikalisme. Karena metode ujian nasional layak di berlakukan di sekolah sekolah perkotaan, dengan fasilitas belajar dan guru yang layak.
Kondisi tersebut berbeda dengan masyarakat di pedalaman Indonesia yang sangat terbatas baik anggaran atau perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Hasilnya nilai peserta ujian nasional di daerah terpencil itupun sangat memprihatinkan. Bahkan banyak yang tidak lulus, dan bagaimana kesempatan peserta yang tidak lulus itu menghadapi masa depannya.
"Jadi pemerintah pusat dalam setiap kebijakannya jangan hanya Jakarta saja yang menjadi barometernya lihat juga daerah miskin relevan tidak jangan di paksakan begitupun dengan penegakan hukum jangan tajam ke bawah dan tumpul ke atas saja,” jelas Tb Soemanjaya, Minggu (10/5/2015).
Hal seperti itu lanjut Soemanjaya memicu potensi dan bibit radikalisme antara pelajar dan pemerintah karena adanya ketimpangan dan kesempatan dalam meraih masa depan.
Persoalan radikalisme di Indonesia sebenarnya hanya bentuk dari kekecewaan dalam pemerataan kesempatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dari hasil kajian Komisi I DPR RI gerakan radikalisme di Indonesia adalah kelompok lama dengan pakaian baru seperti halnya ISIS yang beberapa waktu lalu sempat heboh.
Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor Dr.H Ending Bahrudin,M.Ag menjelaskan ada faktor ekonomi dan kesejahteraan adalah pangkal dari tindakan Terorisme. Termasuk kebebasan Pers dalam pemuatan berita terutama media media mainstream yang banyak memberitakan konflik dan kisah heroik dalam konflik khususnya di Timur Tengah.
"Ada kelompok yang berpendapat apabila agama menjadi penghambat kemajuan ekonomi dan lainnya kemudian muncul sekuler dan ada paham lagi yang meyakini apabila kesejahteraan akan terwujud jika penerapan pemerintahan dan ekonomi di kembalikan kepada Al Quran dan Hadist inilah pemicu awalnya yaitu kesenjangan yang di politisasi dan di buat konflik yang pada intinya adalah perebutan kekuasaan dan kekayaan".
Ending Bahrudin menambahkan, keberadaan kelompok lama itupun di manfaatkan untuk mencari donatur dan menarik dana luar negeri pada jaringan terorisme Indonesia. Melalui Imunitas Pancasila sertapemahaman 4 pilar Kebangsaan mereka optimis Radikalisme di Indonesia berangsung angsur mengecil.
Di Indonesia sendiri tercatat ada 16 kelompok yang di tengarai membawa paham radikalisme namun jumlahnya statis. Dan berita yang menyebutkan ada kelompok ISIS di Indonesia yang setelah di telusuri ada kelompok dan jaringan lama yang eksis sejak dulu.
Tujuan mereka hanya menggolkan proyek perekrutan dan pengajuan proposal bantuan untuk kepentingan yang tidak lain adalah urusan perut. (Yofri H/SAS/WDA)
Sumber:
http://www.rri.co.id/post/berita/164476/ruang_publik/cegah_gerakan_radikal_melalui_imunisasi_ideologi_pancasila.html
Para Pembicara Seminar Nasional (10/5) |
Faktor lain penyebab terjadinya radikalisme negatif adalah ketimpangan ekonomi dan pendidikan di tengah masyarakat di sampin dendam terhadap produk dari kebijakan yang di buat pemerintah pusat yang tidak sejalan dengan kondisi di daerah.
Seperti disampaikan Anggota DPR RI TB Soemanjaya dalam seminar nasional dengan tema “Upaya Penanggulangan Radikalisme melalui Imunisasi Ideologi”.
Soemanjaya menjelaskan pengertian radikal memiliki nilai positif yang artinya mengakar atau mendasar. Namun seiring perjalanan waktu radikal yang disusupi paham kebencian menjadi gerakan radikalisme yang mengarah pada pola pemikiran destruktif bahkan sesat.
Hal paling kecil dicontohkan Soemanjaya dalam bidang pendidikan adalah tidak adanya lagi wawasan kebangsaan dimasukkan di dalam kurikulum baik pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
Bahkan pelaksanaan ujian nasional yang baru saja di selenggarakan di tingkat SMP dan SMA sederajat juga berpotensi munculnya bibit radikalisme. Karena metode ujian nasional layak di berlakukan di sekolah sekolah perkotaan, dengan fasilitas belajar dan guru yang layak.
Kondisi tersebut berbeda dengan masyarakat di pedalaman Indonesia yang sangat terbatas baik anggaran atau perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Hasilnya nilai peserta ujian nasional di daerah terpencil itupun sangat memprihatinkan. Bahkan banyak yang tidak lulus, dan bagaimana kesempatan peserta yang tidak lulus itu menghadapi masa depannya.
"Jadi pemerintah pusat dalam setiap kebijakannya jangan hanya Jakarta saja yang menjadi barometernya lihat juga daerah miskin relevan tidak jangan di paksakan begitupun dengan penegakan hukum jangan tajam ke bawah dan tumpul ke atas saja,” jelas Tb Soemanjaya, Minggu (10/5/2015).
Hal seperti itu lanjut Soemanjaya memicu potensi dan bibit radikalisme antara pelajar dan pemerintah karena adanya ketimpangan dan kesempatan dalam meraih masa depan.
Persoalan radikalisme di Indonesia sebenarnya hanya bentuk dari kekecewaan dalam pemerataan kesempatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dari hasil kajian Komisi I DPR RI gerakan radikalisme di Indonesia adalah kelompok lama dengan pakaian baru seperti halnya ISIS yang beberapa waktu lalu sempat heboh.
Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor Dr.H Ending Bahrudin,M.Ag menjelaskan ada faktor ekonomi dan kesejahteraan adalah pangkal dari tindakan Terorisme. Termasuk kebebasan Pers dalam pemuatan berita terutama media media mainstream yang banyak memberitakan konflik dan kisah heroik dalam konflik khususnya di Timur Tengah.
"Ada kelompok yang berpendapat apabila agama menjadi penghambat kemajuan ekonomi dan lainnya kemudian muncul sekuler dan ada paham lagi yang meyakini apabila kesejahteraan akan terwujud jika penerapan pemerintahan dan ekonomi di kembalikan kepada Al Quran dan Hadist inilah pemicu awalnya yaitu kesenjangan yang di politisasi dan di buat konflik yang pada intinya adalah perebutan kekuasaan dan kekayaan".
Ending Bahrudin menambahkan, keberadaan kelompok lama itupun di manfaatkan untuk mencari donatur dan menarik dana luar negeri pada jaringan terorisme Indonesia. Melalui Imunitas Pancasila sertapemahaman 4 pilar Kebangsaan mereka optimis Radikalisme di Indonesia berangsung angsur mengecil.
Di Indonesia sendiri tercatat ada 16 kelompok yang di tengarai membawa paham radikalisme namun jumlahnya statis. Dan berita yang menyebutkan ada kelompok ISIS di Indonesia yang setelah di telusuri ada kelompok dan jaringan lama yang eksis sejak dulu.
Tujuan mereka hanya menggolkan proyek perekrutan dan pengajuan proposal bantuan untuk kepentingan yang tidak lain adalah urusan perut. (Yofri H/SAS/WDA)
Sumber:
http://www.rri.co.id/post/berita/164476/ruang_publik/cegah_gerakan_radikal_melalui_imunisasi_ideologi_pancasila.html
No comments:
Post a Comment