Undangan panitia Seminar Nasional pada Ahad (10/5). |
Semua pihak –baik penguasa ataupun masyarakat –disadari atau tidak adalah sasaran empuk dari paham radikalisme. Selama ini, fokus kita dalam mensosialisasikan bahaya radikalisme hanya tertuju pada masyarakat. Warga diwanti-wanti untuk tidak mengikuti dan menyebarkan paham radikalisme ini. Seolah-olah bahaya radikalisme hanya diproduksi dan dilakukan oleh masyarakat, tanpa kita tahu apa yang menyebabkan masyarakat meyakini radikalisme sebagai jalan untuk menuntaskan masalahnya. Padahal, paham radikalisme dapat juga diidap oleh penguasa atau negara seperti yang dilakukan oleh negara-negara fasis yang kerap menindas rakyatnya atau bahkan melakukan agresi terhadap negara lain. Hal ini bisa kita baca dari munculnya praktek sewenang-wenang pemerintah dalam menyelesaikan setiap persoalan. Sehingga masyarakat dan media massa menjulukinya sebagai pemerintahan yang lalim dan zhalim. Model pemerintahan seperti ini lebih mengedepankan bedil dan otot dari pada penyelesaian yang adil dan otak, pemerintahan yang otoriter dan destruktif.
Di sisi lain, radikalisme pada dasarnya tidak hanya menjangkiti para penganut agama-agama. Di belahan dunia lain, sebagaimana kita ketahui, beberapa aliran pemikiran dan ideologi juga dapat berpotensi melahirkan radikalisme dengan berbagai tujuan, mulai dari pemberontakan terhadap negara, sampai pada tujuan lainnya yang lebih luas semisal membentuk tananan dunia baru (new world order). Semetara pada tataran penganut agama-agama, potensi radikalisme juga tidak hanya hinggap pada salah satu agama atau kelompok tertentu saja. Berdasarkan penelusuran historis, fenomena radikalisme merupakan gejala yang terjadi di hampir semua agama, baik yang dapat menimbulkan kekerasan agama ataukah tidak. Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan aliran keagamaan lainnya berpotensi terjangkit radikalisme. Dalam Islam kita mengenal kelompok Khawarij seperti ‘ISIS’ yang ‘takfiri’ dan melakukan pendekatan kekerasan dan teror dalam memperjuangkan aspirasinya. Di Kristen ada kelompok ‘Christian Identity’yang melakukan aksi-aksi terorisme di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Dikalangan agama Hindu, radikalisme muncul ketika kalangan hindu merespon penjajahan Inggris yang menguasai India. Respon itu memunculkan gerakan Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS). Lalu, radikalisme dalam agama Budha muncul pada masa dinasti Sungga berkuasa. Setelah mereka membunuh raja Brtadatha, maka hulubalang Pusyamitra Sungga naik tahta. Ia merusak wihara dan membunuh para biksu dengan imbalan 100 keping koin emas untuk setiap kepala biksu yang bertentangan dengan dirinya. Dalam agama Yahudi pun munculnya radikalisme ketika terjadi pertentangan antara Yahudi orthodox dan Yahudi orthodox ekstrim. Yahudi ini sangat ekstrim, radikal, dan rasis seperti Baruch Goldstein yang membantai umat Islam yang sedang sholat Subuh pada tahun 1994. Seorang Yigal Amir yang membunuh PM Yitzhak Rabin karena ia katanya diperintah oleh Tuhan. Dua kelompok Yahudi tersebut sampai hari ini melakukan penjajahan atas warga Palestina.
Sejatinya tafsir tunggal atas radikalisme ini harus dihindari yaitu dengan cara menggali kembali pemahaman yang benar tentang akar masalah dan sebab-sebab terjadinya radikalisme di tanah air yang dapat memecah belah bangsa dan merusak kerukunan ummat. Karena itu kajian, seminar-seminar atau program kegiatan tentang pentingnya upaya pencegahan radikalisme dan penguatan ideologi menjadi prioritas perhatian dan perlu digalakkan serta disosialisasikan kepada semua pihak.
Imunisasi Ideologi
Menyadari akan bahaya radikalisme yang bisa menimpa siapa saja, maka perlu kiranya dilakukan langkah-langkah antisipatif untuk menghindari efek-efek negatif dari bahaya radikalisme. Sekecil apapun, gerakan radikalisme yang tidak sesuai asas dan ideologi negara memang harus dihilangkan. Namun, caranya tidak bisa sekadar represif, atau secara militeristik karena cara ini rawan digunakan penguasa untuk mematikan lawan-lawan politik. Cara yang paling bisa untuk dilakukan adalah dengan memperkuat sistem ketahanan nasional dan ideologisasi bangsa. Selain itu, melalui pendekatan-pendekatan yang lebih sistematis. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara melakukan proses imunisasi ideologi.
Fraksi PKS MPR RI sebagai salah satu Kelompok Fraksi di dalam MPR RI dan salah satu bagian dari anak bangsa memahami akan bahaya radikalisme bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI. Apalagi Pasal 10 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD telah mengamanatkan kepada setiap anggota MPR akan kewajiban untuk memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NRI 1945, mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan NKRI, mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, serta melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Sebagai fraksi dari Partai Islam di MPR RI, F-PKS mendasarkan sikap dan kebijakannya pada ajaran Islam. Bahwa radikalisme menurut pandangan kami adalah suatu tindakan yang ‘berada di ujung’ atau ‘jauh dari pertengahan’. Sikap ini berlawanan sama sekali dengan sikap moderat atau ‘washatiyyah’ yang diajarkan dalam ajaran Islam. Makna yang mirip dengan radikalisme adalah antara lain “ghuluw” (berlebihan), “tanaththu” (melampaui batas), dan “tasydiid” (keras atau mempersulit). Semua sikap ini menunjukkan bahwa sikap radikalisme adalah suatu sikap yang tidak diinginkan dalam Islam. Radikalisme dalam Islam harus dicegah sejak awal. Karena salah satu keburukan yang ditimbulkan dari radikalisme adalah kebencian dan futur (memisahkan diri).
Hadirkan Pakar
Tema besar ini diharapkan dapat ditelisik lebih dalam dan diuraikan secara rinci tentang upaya-upaya penanggulangan radikalisme dan solusinya menurut tupoksi dan bidang keahlian masing-masing pembicara. Adapun pembicara dalam Seminar Nasional ini adalah Dr. Ending Badruddin, M.Ag. (Rektor UIKA Kota Bogor) mewakili kalangan intelektual Islam dan akademisi. Kemudian AKBP Suyudi Ario Seto, SH., SIK., M.Si. (Kepala Kepolisian Bogor) mewakili pihak aparat penegak hukum/kepolisian. Dan Sapto Waluyo. S.Sos., M.Si. (Pengamat Masalah Pertahanan dan Terorisme, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Reform – CIR dan Dosen STT Nurul Fikri, Jakarta) yang mewakili kalangan pengamat/pakar.
Selain kehadiran pakar, seminar juga menghadirkan para anggota MPR dan DPR RI selaku penyelia atau komentator terhadap makalah yang diuraikan oleh pembicara. Anggota dewan yang hadir yaitu Tb. Soenmandjaja (Ketua Fraksi PKS MPR RI, Wakil Ketua Badan Pengkajian Sistem Ketatanegaraan, Anggota MPR RI) sekaligus sebagai Keynote Speech dari Pimpinan MPR RI. Lalu Ketua Komisi I DPR RI Drs Mahfudz Siddiq M.Si. dan Ahmad Zainuddin, Lc. (Wakil Ketua F-PKS MPR RI).
Seminar ini direncanakan diselenggarakan di Pendopo 45, Jampang, kecamatan Kemang, Jalan Parung Km 45 Kabupaten Bogor pukul 09.00 hingga 13.00 WIB. Sementara itu, panitia mengingatkan bahwa peserta seminar ini terbatas dan harus melakukan registrasi sebelum acara di mulai. [imn]
No comments:
Post a Comment