Tampil di majalah Majelis No. 07/Juli 2010 |
JAKARTA - Sebagai anggota dewan yang kini tengah disorot oleh masyarakat, Soenmandjaja bin Roekmandis memegang teguh prinsip lebih mengutamakan moralitas. Menjadi anggota dewan itu bukan hanya sekedar memegang amanah orang lain, tetapi juga harus berani mempertanggungjawabkan amanah tersebut.
Baru saja selesai mengikuti Musyawarah Nasional (Munas) II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Hotel Ritz Carlton,Pasific Place, Jakarta, 17-21 Juni 2010. Soenmandjaja langsung terbang ke Semarang, Jawa Tengah, mengikuti kunjungan kerja Komisi III DPR RI selama tiga hari berturut-turut disana. Sebelumnya Ketua Fraksi PKS di MPR ini juga melawat ke beberapa daerah, seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, untuk melakukan sosialisasi 4 (empat) pilar: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Alhamdulillah, pelaksanaan Munas (PKS) berlangsung lancar,” ungkapnya saat dihubungi Rini S. Danudjaja dari Majelis via telepon sesaat sebelum lepas landas ke (DIJ) Jogja. Salah satu hasil rekomendasi Munas PKS adalah memperkuat komitmen Kebangsaan, yaitu merumuskan konposisi kepengurusan partai untuk diisi oleh kader non muslim.
“Itu hasil kerja kami sejak awal. Pasal 8 AD/ART menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dapat menjadi anggota partai sesuai perundangan yang berlaku,” jelas Soenmandjaja yang juga Ketua Komisi Konstitusi dan Legislasi MPP PKS ini. Ini merujuk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (parpol)yang menekankan penghapusan unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Karena partai pada dasarnya amanat rakyat, Negara, dan bangsa, jadi tidak boleh mengkhususkan untuk kelompok tertentu, karena melanggar HAM.
Di tengah-tengah kesibukannya itu, Sunman — demikian panggilan akrabnya —tak lupa berbagi waktu dengan sang istri tercinta Eem Teminawati dan delapan putra-putrinya. Mereka saling mendoakan dan memberikan kepercayaan satu sama lain, termasuk saling berkomunikasi via telepon. Satu dari kedelapan anaknya, Kini telah menjadi pengajar di Sekolah Indonesia Kairo (SIK), Mesir.
Bercita-cita Jadi Tentara
Soenmandjaja lahir di sebuah kampung di lereng Gunung Gede, Sukabumi, Jawa Barat, 29 September 1957. Ayahnya, seorang tentara Angkatan Darat (AD), sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Belum genap berusia 3 tahun, kampung tempat ia tinggal bersama seorang kakak dan ibunya dibakar oleh “gerombolan” DI/TII. “Kampung kami dibumihanguskan. Rumah, sawah dibakar,” kenangnya.
Bersyukur ia dan keluarganya selamat. Oleh ayahnya yang waktu itu tengah berdinas di Tasikmalaya, Sunman beserta kakak dan ibundanya dipindahkan ke Bogor pada 1959. Praktis, masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di ‘Kota Hujan’ itu. Di kota itu pula, ia bersekolah mulai dan TK hingga perguruan tinggi. Setelah menamatkan SD Bubulak 2 Bogor, Ia lalu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Negeri Bogor. Tamat SMEP, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Jurusan Tata Buku juga di Bogor. Setelah mengantongi ijasah SMEA, ia kemudian melanjutkan kuliah di Universitas lbnu Khaldun (UIKA) Bogor.
Sejak kecil, Sunman bercita-cita jadi tentara. Ia mengaku, sangat mengagumi sosok sang ayah yang memang seorang tentara. Sebagai anak tentara, Sunman terbiasa menyemir sepatu ayahnya, serta membersihkan barang berbahan dasar logam yang ayahnya pakai, seperti sabuk atau tanda pangkat, dengan Braso. “Sampai saya bisa bongkar pasang magasin dan juga senjata,” ujarnya. Selain itu, waktu kecil Sunman sering menonton film-film koboi, film-film perang (Perang Dunia II) sampai terakhir kasus pemberontakan Gerakan 30 September (G-30 /PKI) dimana militer AD muncul. “Saya ingin jadi tentara karena itu,” ungkapnya.
Sayangnya keinginan itu kandas, karena kedua orang tuanya melarang Sunman mengikuti jejak ayahnya. Padahal, waktu itu, Sunman berencana mendaftar ke Sekolah Calon Bintara (Secaba). Tapi itu urung dilakukan, karena ayahnya tak mengizinkan dengan dalih, cukup ayahnya saja yang jadi tentara. Saat itu, ayahnya bertugas di Korem Surya Kencana dengan jabatan Pemegang Kas Militer.
Pada 1977, Sunman lulus Menwa Diklat XIII Resimen Mahawarman, Batalyon VII/Suryakencana, dan sebagai punya hak untuk menjadi instruktur pada diklat-diklat berikutnya. Aktivitasnya di Menwa ini sedikit menghibur dan bahkan mengubur cita-cita awal untuk masuk TNI-AD. Namun, kesedihan kembali menimpanya. ketika ia tidak terpilih sebagai anggota Menwa yang dikirim ke
Timor-Timur pada saat Operasi Seroja.
Selanjutnya, “Saya banting stir, berkonsentrasi sebagai guru dan asisten dosen, berdakwah hingga menjadi dosen dan aktivis dakwah,” ujar Sunman yang mengawali karirnya sebagai guru di sebuah SMP di Bogor. Selanjutnya ia berprofesi sebagai dosen di Universitas Ibnu Khaldun dan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai staf TPAI.
Sebagai da’i, Sunman sudah menjelajah seluruh kepulauan dan provinsi se-Indonesia. Ia pernah diundang mengikuti muhibah ke Malaysia, Thailand, Australia, Inggris, Jerman, Belanda, Austria, Mesir, Arab Saudi, Turki, Jepang, Korea dan Taiwan. “Alhamdulillah, saya ditakdirkan sudah delapan kali menunaikan ibadah haji,” tuturnya.
Terjun ke Politik
Pengalaman aktif berorganisasi selama mahasiswa mengantarkan Sunman dunia politik. Sejak mahasiswa, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, dan memegang jabatan sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Lembaga Dakwah Pengurus Besar HMI. “Memang HMI lebih banyak memberikan pewarnaan kepada Saya,” tuturnya.
Sebagai aktifis Dewan Mahasiswa UIKA, Sunman ikut terlibal dalam gerakan mahasiswa hingga 23 Maret 1978 ia ditangkap tanpa surat penangkapan oleh empat oranq anggota CPM. Lalu dengan sebuah mobil Jeep, ia dibawa dan ditahan di Denpom. “Saya diperiksa selama sepeken. Untungnya, Komandan Denpom Mayor B.L. Singal amat kebapakan,” kenangnya.
Sebagai tahanan titipan ia dipindahkan ke Korem 061/Suryakancana di Jalan Merdeka Bogor. Waktu itu, Danrem adalah Kol. H.R. Komar D. “Selama 3 bulan saya disekap dalam sel sempit seraya menjalani pemeriksaan dan penyiksaan yang amat tidak berperikemanusiaan,” tutur Sunman. Selanjutnya, Sunman dipindahkan ke Kodam VI/Siliwangi di Balak Intel, Jalan Sumatera 37, Bandung, dengan Pangdam Mayjen Himawan Sutanto.
Setalah mendekam selama satu bulan di Kodam, status tahanan diubah menjadi tahanan rumah karena masih kuliah. Dengan kewajiban melapor ke kantor Korem 061/Suryakancana setiap Senin pagi, selama dua tahun. Bukan hanya itu, ia pun dicekal untuk selama sepuluh tahun tidak bisa memiliki paspor sampai 1988.
Sesaat setelah reformasi, atau pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto, parpol-parpol baru mulai bermunculan. Setelah mendalami dan mempelajari parpol-parpol yang ada dan melihat situasi politik yang memungkinkan, maka ia bersama rekan-rekannya memilih mendirikan partai politik sendiri. Pada 20 Juli 1998 mereka mendeklarasikan Partai Keadilan (PK) dalam sebuah konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden pertama PK adalah Nurmahmudi Ismail.
“Dulu, waktu pertama mendirikan partai tujuannya tidak semata-mata untuk ikut politik atau pemilu, tapi lebih kepada aktualisasi politik setalah kita coba mendalami dan mempelajari partai politik yang ada,” jelas Sunman yang waklu itu dipercaya memegang jabatan Ketua DPW Jawa Barat.
Akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikutsertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral Threshold) 2%, maka PK harus mengubah namanya untuk dapat ikut kembali di pemilu berikutnya. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera)menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat provinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat kabupaten/kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS. Dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi hak milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kedernya. Dengan penggabungan ini, maka PK resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sajahtera).
Pada pemilu 1999, atas amanat partai, Sunman mencalonkan sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kabupaten Bogor. Ia terpilih sebagai anggota dewan periode 1999-2004. Karena jumlah anggota dewan dari PK waktu itu hanya 7 orang, ia mendapatkan tugas di komisi secara berganti-ganti. Awalnya ia ditempatkan di Komisi I (Bidang Pertahanan dan Politik Luar Negeri), kemudian dipindah ke Komisi III (Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan, Kelautan, Perikanan dan Pangan). Dan terakhir, ia ditempatkan di Komisi IX (Keuangan dan Perbankan).
“Memang dari situ tidak satu pun yang berhubungan atau bersentuhan dengan dunia pendidikan,” lanjutnya. Namun, posisinya sebagai Anggota Badan Legislasi DPR banyak berkorelasi dengan dunia pendidikan, dunia yang sebelumnya ia geluti.
Pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Bogor 2008, atas rekomendasi partainya, ia dicalonkan sebagai calon Bupati Bogor periode 2008-2013 berpasangan dengan Drs. Ace Supeli. Hal itu dilakukan untuk mengukur barometer suara (pemilih) pada pemilu berikutnya, yaitu pemilu 2009. “Sebelumnya saya sudah menyampaikan hasil kajian ke partai bahwa hal itu sungguh berat, baik dari aspek SDM, pendanaan dan segala macam. Kita punya daya dukung yang sangat pas-pasan dari hasil pemilu yang sebelumnya (2004),” ungkapnya.
Selanjutnya pada Pemilu 2009, Sunman kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 dari dapil sama. Kali ini ia ditempatkan di Komisi III (Hukum dan HAM). Ia mengaku lebih “nyaman” ketika masih menjadi dosen ketimbang menjadi politikus. “Disana lebih banyak berinteraksi langsung dengan ilmu pengetahuan dan juga berdiskusi dengan mahasiswa juga dosen lainnya, selain juga merasa lebih bermanfaat dengan ilmu kita,” ungkapnya.
Ia merasakan betul suasana politik yang tengah berkembang saat ini, terlebih masyarakat cenderung menilai politik dihubungkan dengan uang. “Itu yang membuat perasaan kita terganggu,” tandasnya. Menurut Sunman, kalau seseorang terjun ke dunia politik harus sudah cukup segala sesuatunya. Seperti cukup pengetahuannya, cukup ketersediaan waktu, cukup keuangannya, dan juga cukup dengan perasaannya yang harus siap mendapat koreksi dari masyarakat.
“Kalau anggota dewan tidak mempunyai kesiapan yang memadai akhirnya menjadi semacam ‘operator’ atau menjadikan lembaga negara sebagai ajang menacri nafkah. Itu nggak tepat,” lanjut dia.
Mengusung Moralitas
Yang lebih penting sekarang ini, menurut Sunman, bagaimana mengusung moralitas bahwa anggota dewan itu bukan hanya sekedar diamanahi oleh orang lain. Selain amanah itu harus dipegang, anggota dewan juga harus berani mempertanggungjawabkan amanah orang lain.
Karenanya dalam menjalani hidup, ia memegang prinsip sebagaimana berlaku di dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, pertama dikenal istilah transfer of knowledge dimana kita bisa memindahkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Kedua, ilmu pengetahuan sekaligus juga menjadi kontrol buat diri sendiri to change mental attitude. “ Jadi dua sisi inilah, di satu sisi kita memberi ke orang lain, dan di sisi lain kita juga terkontrol oleh orang lain,” terangnya.
Demikian halnya dalam menghadapi perbedaan pendapat dalam berpolitik. Sunman percaya, sebagaimana manusia di khittahkan dalam keadaan berbeda, mulai dari anggota tubuh berbeda, jenis kelamin berbeda, dan sebagainya. Bilamana terjadi perbedaan, ia mengistilahkan kalau warna-warni bunga menjadi taman indah, kalau bunyi-bunyian menjadi harmoni musik. “Yang pertama diperlukan kedewasaan. Kedua, pengalaman dan ketiga, sikap demokrasi yang bisa menghormati dan menghargai pandangan orang lain. Dan, jangan sungkan-sungkan mengakui kebenaran pihak lain kalau memang kita salah,” demikian pesannya.
Jika ternyata harus beradu argumentasi maka harus dalam koridor etika dan logika. Meski dalam proses kita tidak sependapat dengan sebuah usulan untuk dijadikan keputusan, namun ketika sebuah keputusan sudah dibuat, maka kita harus menghormati keputusan tersebut.
Ia mencontohkan keputusan saat pemilihan Presiden, pemilihan Pimpinan MPR, kasus Bank Century, dan Dana Aspirasi. “Jadi selama kita bisa berdiskusi dengan koridor kedewasaan yang kita miliki bersama untuk bangsa dan negara maka lakukan itu. Tapi kalau sudah diputuskan ya atau tidaknya. kita harus
Menghormati itu,” jelasnya lebih lanjut.
Bahkan secara gamblang ia menggambarkan sikap kedewasaan itu pada saat pengajuan Rancangan UU Pengelolaan Sumber Daya Air itu pada periode 1999-2004, yang akhirnya disahkan menjadi UU Pengelolaan Sumber Daya Air. “Saya tidak setuju. Saya katakan bukan UU Pengelolaan Sumber Daya Air. Saya mengusulkan UU Perlindungan Sumber Daya Air. Kita perdebatkan, tapi akhirnya Paripurna DPR menetapkan UU Pengelolaan Sumber Daya Air. Saya tidak keluar dari sidang, saya mengatakan agar dicatat bahwa saya tidak setuju keputusan tersebut, tapi saya menghormati itu,” paparnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunman ternyata mengagumi banyak orang, baik yang berinteraksi langsung maupun melalui pemikiran-pemikirannya. Ia sangat mengagumi kedua orangtuanya. ia juga kagum kepada orang-orang yang menjadi pelaku sejarah atau founding fathers dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tetapi sebagai seorang muslim, ia punya tipe ideal untuk diidolakan yaitu Nabi Muhammad SAW. “Beliau menjadi rujukan utama,” ucapnya. Meskipun ia sangat menghormati Bung Karno dan Bung Hatta, namun di mata Sunman, Nabi Muhammad adalah manusia sempurna yang tidak ada kekurangannya sama sekali.
Sunman kini dipercaya partainya untuk menjabat sebagai Ketua Fraksi PKS di MPR, karena pengalaman dan kiprahnya di MPR. Pada periode sebelumnya, ia menjabat sebagai Sekretaris dan kemudian Wakil Ketua Fraksi Reformasi periode 1999-2004 di MPR. Ia juga terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung, dalam proses pengambilan keputusan di MPR, khususnya dalam perubahan atau amandemen konstitusi dan TAP MPR.
“Itu yang pertama kali kita kuasai. Selain itu kita juga ingin mengkomunikasikan tugas-tugas dan padangan partai termasuk kepada fraksi-fraksi lainnya, terkait dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Sunman yang merasa senang karena didukung sepenuhnya oleh seluruh temannya di fraksi secara kolektif dan partisipatif.
Selama menjadi Anggota MPR/DPR, ia pernah melakukan kunjungan kerja ke Malaysia, Inggris, Perancis, Pakistan, India, Turki, Spanyol, dan China. Selain itu, Sunman pernah mengikuti delegasi International Parlementary Union (IPU) dan Organization of Islamic Conference (OIC).
Terkait sosialisasi empat pilar dalam lingkup kebijakan Pimpinan MPR, ia menilai hampir tidak ada kendala di lapangan. Namun merujuk perintah UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD maka sosialisasi belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. “Ketika ini (sosialisasi) menjadi kewajiban utama bagi setiap anggota MPR maka di situ perlu penyegeraan untuk transparansi anggaran, karena tidak mungkin sosialisasi tanpa anggaran,” ujarnya.
Sambil menunggu pengonsolidasian anggaran yang belum selesai sampai saat ini, fraksinya berusaha untuk terus mendalami materi sosialisasi. Sebab masing-masing anggota MPR mempunyai kewajiban sosialisasi walaupun dengan dana terbatas. “Karena teman-teman di fraksi merasa belum cukup bekal untuk sosialisasi di dapil masing-masing,” ungkapnya.
---------------
Sumber:
Artikel ini pernah diterbitkan oleh Majalah “Majelis”, Edisi No. 07/Th IV/Juli 2010
No comments:
Post a Comment