Tifatul Sembiring (Ketua FPKS MPR RI) |
Assalamu'alaikum wr. wb.,
Merawat persatuan dalam kebhinnekaan Indonesia ini tidaklah mudah. Keberagaman suku, agama, ras, bahasa, adat dll, bahkan dipisahkan oleh ribuan pulau memiliki tantangan sendiri.
Dalam preambule UUD '45: Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia.
Artinya: Pemerintah agar melindungi seluruh masyarakat dan tidak membiarkan adanya satu pihak menistakan pihak yang lain. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Kasus teranyar adalah yang mengenai: Basuki Tjahaya Purnama yg lebih populer dipanggil dengan sebutan Ahok. Yang bersangkutan menjadi tersangka penistaan agama, dan saat ini sedang menjalani proses persidangan.
Persoalan ini menjadi melebar, demo-demo terjadi dalam skala besar, lintas kota, lintas propinsi dan lintas pulau.
Energi bangsa ini terkuras, amat disayangkan mengapa hal ini sampai terjadi. Padahal dalam membangun, pemerintah dan masyarakat butuh stabilitas dan keamanan serta sinergi diantara seluruh elemen bangsa.
Seolah-olah masyarakat menjadi terbelah antara pembela dan penentang Ahok. Belum lagi efek terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini belum terjadi rekonsiliasi nasional, siapa yang semestinya menginisiasi, siapa aktor yang perlu diajak bicara.
Pemimpin tidak boleh berpihak, harus tetap di tengah sebagai juri dan memberikan solusi.
Fatwa ulama memang bukan hukum positif, akan tetapi dia bersumber dari Alqur'an dan sunnah yang diyakini kaum muslimin sebagai rujukan utama. Para penyelenggara negara ini, khususnya aparat penegak hukum perlu memperhatikan ini, sebagaimana juga penting memperhatikan aturan dan hukum adat yang berlaku di suatu daerah. Pendekatan yang kurang bijak bisa memicu persoalan-persoalan baru.
"Jika rakyat merasa takut kepada pemerintah, maka inilah yang disebut Tirani. Jika pemerintah merasa takut kepada rakyat, maka ini adalah sebuah Liberty" ~ Kata Thomas Jefferson.
Dalam konstitusi, ada jaminan kebebasan memeluk dan menjalankan ibadah agama masing2. Pasal 28 E ayat 1, UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi tidak membedakan antara penodaan (Blasphemy) dengan penistaan (defamation) atau fitnah. Hal ini didasarkan kepada Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
Menurut UU KUHP Pasal 156a: Pelaku penistaan dipidana penjara paling lama selama 5 tahun penjara.
Beberapa negara menerapkan hukuman mati atas penistaan agama: Saudi Arabia, Iran, Mesir, Irlandia, Norwegia, Malaysia, Nigeria dll. Hukuman penjara: Australia, Inggris, Denmark, Belanda, Turki, Indonesia dan lain-lain.
Di beberapa negara lain juga, "hate speech" dan "religius insult" diancam hukuman penjara: spt di: Kanada, Rusia, Spanyol, Swiss, Ukraina, Belanda dll.
Bagaimana kita memandang kasus penistaan agama dalam perspektif konstitusi dan hukum yang berlaku. Bagaimana cara agar persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI yg beragam ini bisa kita rawat bersama.
Semoga Sekolah Konstitusi ini, dapat memberikan pencerahan bagi kita semua. Amien.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh nara sumber, dan mohon maaf bila ada kekurangan maupun kesilapan.
Sekian dan terimakasih.
Wassalamu'alaikum wr wb.
Sumber:
Fraksi PKS MPR RI
No comments:
Post a Comment