Tuesday, February 14, 2017

Toleransi dalam Bingkai NKRI

Oleh: Danang Aziz Akbarona *)

Ada pihak-pihak yang mengembuskan opini (gerakan massa) aksi bela Islam sebagai tindakan intoleran, mengganggu kebinekaan, memecah belah persatuan, bahkan mengancam eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal sumber kegaduhan itu berangkat dari pernyataan dan sikap seorang pejabat publik yang dinilai telah menistakan Alquran, tidak peka terhadap keberagaman, acap kali bersikap sarkastis, agresif, dan ofensif.

Yang bersangkutan belakangan juga dinilai mendeskriditkan ulama oleh banyak pihak. Lalu, ketika timbul reaksi, mengapa ulama dan umat mayoritas yang sejatinya merupakan korban kegaduhan ini justru dituduh macam-macam?

Artikel singkat ini menjelaskan bagaimana sikap toleransi seharusnya dikembangkan dalam bingkai NKRI dengan merujuk pada konstruksi sistem hukum yang berlaku. Harapannya agar tidak ada pihak yang asal tuduh dan lempar batu sembunyi tangan.

Hak Beragama  

Hak beragama adalah hak yang sudah lama dikenal dan kemudian dikukuhkan secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak ini secara tegas disebutkan sebagai hak yang paling dasar (basic human rights), hak yang tidak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights).

Pengakuan terhadap hak beragama didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Sebagai hak yang nonderogable, ia tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer.

Dalam konteks Indonesia, negara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga negara. Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan terhadap hak beragama, tidak hanya berupa perlindungan atas pilihan keyakinan seseorang, tetapi juga harus menjamin ekspresi keagamaan yang merupakan bagian dari peribadatan dan ritual keagamaan.

Atas dasar penghormatan tersebut, diperkuat dengan fondasional sejarah Indonesia merdeka sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (Vide sila pertama Pancasila dan Pasal 29 Ayat (1), negara berkewajiban melindungi setiap agama dari upaya penodaan dan penistaan yang dilakukan oleh siapapun. Negara juga mengembangkan dan mempromosikan sikap toleransi dalam menjalin hubungan antarumat beragama, mencegah berbagai tindakan yang menyulut ketersinggungan umat beragama serta tegas melarang penistaan agama atas nama apapun, termasuk kebebasan.

Untuk itu, UUD 1945 pada Pasal 28J menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak asasi orang lain dalam rangka tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pun, setiap orang dalam menjalankan kebebasannya tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. 

Sikap Toleran 

Ketentuan konstitusional tersebut hendaknya mendorong kita semua untuk mengembangkan sikap keberagamaan yang mengedepankan kerukunan antarumat beragama. Hal ini tercermin dari penghargaan dan penghormatan umat beragama terhadap eksistensi agama-agama di Indonesia.

Diantara pilar kerukunan antarumat beragama setiap orang dituntut untuk menghormati agama dan nilai ajarannya. Sehingga umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai (peacefull coexistency), secara harmonis, dalam suasana kekeluargaan, dan saling beker jasama dalam kebaikan.

Dalam ajaran Islam, sikap toleransi dan sekaligus prinsip kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi. Hal ini dapat kita temukan dalam Firman Allah SWT: Lakum diinukum waliya diiin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu (QS. Al-Kafirun: 6), yang menegaskan hakikat toleransi dalam beragama.

Selanjutnya Islam menegaskan tidak boleh ada pemaksaan untuk masuk agama Islam, apalagi agama yang lain, yakni dalam firman Allah: ”Laa ikraaha fiddiin” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Ajaran Islam jelas memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan penganut-penganutnya.

Bahkan dalam lapangan kehidupan kita diperintahkan untuk berinteraksi dan bekerja sama dalam kebaikan. Penulis yakin ajaran agama lain juga menekankan pentingnya kerukunan antarumat beragama melalui sikap toleransi, penghormatan, dan kasih sayang di antara manusia.

Mencegah intoleransi

Kerukunan antarumat beragama perlu dirawat. Merawatnya dengan berbagai macam cara, tapi yang terpenting cara itu harus didasari atas kesadaran bersama untuk menjaga segala potensi yang merusak bagunan kerukunan berupa sikap intoleransi.

Sikap intoleransi ini diantaranya diekspresikan dengan sikap yang ofensif terhadap ajaran agama tertentu, tidak peka dalam berucap dan bersikap terkait nilai dan ajaran agama tertentu, serta komunikasi yang agresif—tidak asertif—dalam hubungan bermasyarakat yang multiagama. Pada tingkat yang lebih memprihatinkan sikap tersebut bisa berupa penodaan/penistaan terhadap agama dan keseluruhan nilai ajarannya.

Bersyukur negara kita memiliki pendirian dan aturan yang jelas tentang posisi agama dan ancaman terhadap perbuatan yang merusak bangunan kerukunan beragama sebagaimana tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak boleh ada di negara ini sikap dan perbuatan yang menghinakan, menodai, dan menistakan agama.

Tidak boleh ada sikap yang menyerang dan merusak nilai dan ajaran agama. Ketegasan sikap negara terhadap intoleransi secara konkret diwujudkan dalam beleid tentang larangan penodaan agama.

Adalah UU Nomor 1/PNPS/1965 pada Pasal 1 yang menyatakan dengan jelas larangan penodaan agama, yaitu “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

UU Penodaan Agama juga memuat ketentuan untuk memperingatkan orang, penganut, anggota dan/atau pengurus organisasi yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Keputusan untuk memperingatkan tersebut dapat diambil berdasarkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Apabila dinilai masih terus melanggar, maka perseorangan tersebut dapat dipidana.

UU ini pernah di-uji materi-kan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi pada 2009. Namun MK justru menguatkan keberadaannya.

Para penggugat mendasarkan argumen mereka pada prinsip kebebasan yang potensial dilanggar dengan UU tersebut. MK menilai UU larangan penodaan agama tetap diperlukan dalam konteks Indonesia sebagai negara relijius (religious nation). Pembatasan kebebasan beragama dapat dilakukan dengan alasan ketertiban umum (public order) untuk menghindari terjadinya kekacauan dan membahayakan masyarakat, sehingga tercipta keharmonisan nasional.

MK juga memberikan justifikasi bahwa penodaan agama masih merupakan tindak pidana di banyak negara dunia. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156a menyatakan dengan jelas “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dengan seluruh instrumen tersebut, Indonesia menghendaki satu hubungan keberagamaan yang saling menghormati dan menghargai eksistensi agama dan nilai ajarannya. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengembangkan sikap yang arif dan bijaksana, mengedepankan kepekaan dan toleransi dalam hubungan antarumat beragama.

Konklusi

Reaksi atas perilaku yang dinilai menodai agama seperti aksi bela Islam harus dipandang secara positif dan konstruktif sebagai upaya untuk menjaga dan mempromosikan kerukunan antarumat beragama, menjaga kebinekaan Pancasila dan NKRI. Agar setiap orang, apalagi pejabat publik, mawas diri dan tidak berbuat seenaknya, peka terhadap keberagaman, menghormati ajaran agama dan keyakinan, tidak berperilaku kasar dan ofensif terhadap perbedaan apalagi terhadap tokoh ulama yang dihormati umat Islam.

Justru pengabaian sikap-sikap demikian yang menjadi sumber kegaduhan, memecah belah persatuan, antikebhinnekaan, dan membahayakan NKRI yang berdasar pada pengamalan luhur nilai-nilai Pancasila. Pemerintah dan aparat hendaknya memberikan respons positif atas aksi-aksi yang menentang penistaan agama, bukan malah menunjukkan respons yang dipersepsi luas tidak simpatik, resisten, bahkan represif. Hal ini bukan saja tidak tepat tapi juga menjauhkan negara dari nilai-nilai penghormatan terhadap eksistensi agama sebagai pilar kebangsaan dan promosi atas toleransi hidup beragama.

*) Pemerhati Masalah Kebangsaan

Sumber:
Senin, 13 Februari 2017
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/02/12/ol9ec0408-toleransi-dalam-bingkai-nkri

No comments:

Post a Comment