Sekolah Konstitusi ke-7: HNW dan Ketua AILA |
Demikian dikatakan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid ketika berbicara sebagai keynote speaker dalam seminar Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR Tahun 2018 dan kuliah ke-7 Sekolah Konstitusi Fraksi PKS MPR di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (6/2/2018). Seminar dan kuliah bertema “Zina dan LGBT dalam Tinjuan Konstitusi” ini merupakan kerjasama Fraksi PKS MPR dengan AILA (Aliansi Cinta Keluarga). Hadir dalam seminar dan kuliah konstitusi ini Ketua Fraksi PKS MPR Tiffatul Sembiring dan Kordinator AILA Rita Subagyo, serta narasumber antara lain Hamdan Zoelva, Prof Dr Muzakir, Atip Latipulhayat Ph.D.
Menurut Hidayat Nur Wahid, berdasarkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 29, Pasal 28 huruf a hingga j Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang juga memberi penghormatan pada hak asasi manusia (HAM). Penghormatan pada HAM yang diatur secara rinci dalam pada pasal 28 huruf a hingga j tersebut kata kuncinya ada pada pasal 28 huruf j ayat 2.
Pasal 28 huruf j ayat 2 berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
“Dalam ayat itu disebutkan pemberlakuan seluruh klaim hak asasi manusia dalam konteks Indonesia mesti tunduk pada moral (living law) dan (nilai-nilai) agama yang diakui di Indonesia,” tegas Hidayat.
“Semua (ajaran) Agama yang ada di Indonesia sudah sangat jelas dan tegas melarang zina dan LGBT. Karena itu secara hak asasi manusia dalam konstitusi kita, sejak awal sesungguhnya masalah zina dan LGBT ini sudah selesai. Yaitu tidak dibolehkannya zina dan LGBT karena bertentangan dengan konstitusi,” sambungnya.
Apalagi, lanjut Hidayat, bila dilihat dari Pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan dalam agama apapun pasti melarang zina dan LGBT.
“Jadi kalau masih ada yang ngotot khususnya tentang LGBT dan zina maka kita bisa bertanya, apakah Anda ada di Indonesia atau di luar Indonesia? Kalau di luar Indonesia, itu urusan Anda. Tapi kalau Anda ada di Indonesia, Anda warga negara Indonesia yang ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD NRI Tahun 1945, maka urusan zina dan LGBT sudah jelas,” tandas Hidayat.
Dalam kasus LGBT, Hidayat memberi contoh Rusia, negara yang tidak memiliki Pancasila dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Presiden Rusia, Vladimir Putin menyetujui UU yang melarang LGBT karena fraktor proxy war. Putin melihat kalau LGBT dibiarkan akan menjadi sesuatu yang melemahkan negara. Karena LGBT tidak lagi memikirkan keturunan apalagi memikirkan bangsa, tapi hanya memikirkan hawa nafsunya.
“Tidak terbantahkan bahwa perzinaan & LGBT merusak sistem keluarga dan tatanan sosial sehingga pada akhirnya merusak Negara. Kalau prilaku zina dan LGBT terus dibiarkan, maka hal ini tentunya akan mengangcam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu Putin menyetujui UU yang melarang LGBT,” ujar Hidayat seraya menambahkan Singapura juga sudah mengkriminalkan perilaku gay.
Sekarang bola persoalan zina dan LGBT ada di pembentuk UU, yakni DPR RI bersama-sama Presiden. Untuk itu Hidayat meminta AILA dan masyarakat luas untuk mengawasi RUU KUHP. Pengawasan tidak hanya fokus pada DPR, tapi juga pemerintah. Sebab, dalam konteks konstitusi, UU dibuat DPR bersama pemerintah. Kalau pemerintah menolak mengesahkan maka sebuah RUU tidak bisa menjadi UU.
“Pengawasan dari rakyat merupakan bagian pengamalan konstitusi. Dalam konstitusi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Karena itu, sebagai pemilik kedaulatan tertinggi maka sangat wajar bila rakyat mengawasi para wakil rakyat,” ujarnya.
Sumber:
http://mpr.go.id/posts/hidayat-nur-wahid-lgbt-dan-perzinaan-bertentangan-dengan-konstitusi
No comments:
Post a Comment